DENPASAR-Jurnalbali.com

Pulau Flores ternyata sudah dijuluki sebagai pulau Geotermal sejak beberapa tahun lalu setelah penelitian yang dilakukan oleh para ahli dari Kementerian ESDM. Akibatnya, banyak eksplorasi Geotermal di Flores hingga Lembata yang dilakukan oleh para ahli geologi dan beberapa bahkan sudah melakukan pemboran walau ada yang berhasil namun ada yang gagal.

——-

Ketua Aliansi Terlibat Bersama Korban Geotermal Flores (Alter KGF) Pater Felix Bhaghi, SVD mengatakan, saat ini seluruh masyarakat di Flores hingga Lembata sudah tidak bisa mentolerir lagi tentang geotermal di Flores dan Lembata.

Menurutnya, tim kerja Alter KGF sudah mendatangi semua lokasi, melakukan pengamatan dari dekat, melakukan diskusi, konfirmasi dengan masyarakat. Dan hasilnya, ternyata mereka semua menolak dan merasa tidak nyaman dengan eksplorasi Geotermal di wilayah mereka. Ternyata banyak dampak buruk daripada dampak baiknya.

“Kami bukan obyek transisi. Kami tolak geotermal eothermal sekarang juga. Kami, warga dari Poco Leok, Ulumbu, Wae Sano Mataloko, Sokoria, Lesugolo, Atadei, dan semua wilayah yang kini diincar proyek geothermal, menolak dengan tegas segala bentuk kelicikan negara yang berupaya menutupi kekerasan eksploitasi energi dengan bahasa-bahasa teknokratis,” ujarnya, Sabtu (3/5/2025).

Warga juga sudah tidak memiliki keyakinan terhadap pernyataan Gubernur NTT Melki Laka Lena bahwa proyek ini akan ditinjau kembali. Ini adalah manuver untuk mengalihkan perhatian publik dari fakta utama bahwa proyek ini telah ditolak oleh rakyat.

“Kami, warga Flores dan Lembata yang kini dikepung proyek geothermal, menolak dengan tegas karena tanah yang hendak dibor bukanlah lahan kosong, melainkan tubuh hidup tempat kami berpijak, bertani, berdoa, dan mewariskan kehidupan. Proyek ini mengancam sumber air, mencemari udara, dan merusak tempat-tempat sakral yang menjadi pusat iman dan kebudayaan kami,” tegasnya.

Di wilayah lain yang telah lebih dulu menjadi lokasi eksplorasi proyek serupa sudah bukti nyata bahwa tanah ambles, tanah bergerak, penyakit muncul, dan ruang pangan hilang, budaya pun hilang. Sementara keselamatan dan protes masyarakat diabaikan.

Atas nama energi terbarukan, warga dipaksa menyerahkan segalanya tanpa jaminan perlindungan, tanpa ruang bicara, dan tanpa penghormatan terhadap martabat warga sebagai penjaga tanah dan budaya secara turun-temurun.

Di Wae Sano, bahkan Bank Dunia menarik diri dari pendanaan setelah berbagai penolakan. Di Poco Leok, proyek perluasan PLTP Ulumbu yang didanai Bank Pembangunan Jerman (KfW) telah diaudit secara independen.

Hasilnya jelas yakni banyak pelanggaran terjadi terhadap hak-hak ekonomi, budaya, lingkungan, dan politik masyarakat, termasuk pelanggaran atas berbagai regulasi investasi dan prinsip pembangunan berkelanjutan. “Artinya, bukan hanya kami yang bersuara, lembaga internasional pun mengakui bahwa proyek-proyek ini cacat sejak awal,” ujarnya.

Mengutip permohonan warga di seluruh titik, Dosen IFT Ledalero tersebut meminta agar Gubernur NTT Melky Laka Lena tak perlu sibuk membentuk tim khusus untuk uji petik atau survei teknis yang pura-pura netral. Ruang hidup waega bukan kertas kosong yang bisa dirancang sesuka hati dari meja birokrasi atau ruang rapat kementerian.

“Kami juga menolak keras narasi bahwa ada “pro dan kontra”. Tidak ada keraguan di sini: kami diusir, dibungkam, diancam, dipukul, dilaporkan ke polisi, dan sejak awal tidak pernah dilibatkan secara bermakna,” ujarnya.

Gubernur Melki bahkan menyebut WALHI NTT seolah-olah mewakili suara warga. Itu manipulatif. Warga menghormati kerja WALHI sebagai organisasi lingkungan dan selama ini bersama masyarakat.

Tetapi keterlibatan mereka bukan utusan komunitas, bukan delegasi rakyat korban. Keterlibatan mereka tidak bisa digunakan untuk melegitimasi proyek ini atau dianggap sebagai bukti bahwa partisipasi masyarakat telah terpenuhi. “Jangan geser kenyataan. Yang punya tanah, yang akan kehilangan sumber air, yang akan terpapar racun dan ledakan, adalah warga, bukan para pejabat dan teknokrat,” ujarnya.

Warga Flores hingga Lembata juga mengecam keras ajakan Gubernur NTT agar tidak melakukan aksi atau unjuk rasa. Itu penghinaan. Ketika warga bicara, disebut memprovokasi. Ketika warga berdoa dan menjaga tanah tapi dicurigai. Ketika warga bertahan, malah dikriminalisasi.

“Apakah ini yang disebut pembangunan? Kami tidak butuh transisi energi yang menghancurkan hidup kami. Kami tahu siapa yang diuntungkan dari proyek ini yakni korporasi energi, para investor, dan pejabat yang menumpang nama “energi hijau”. Sementara kami kehilangan kampung, kebun, hutan, mata air, ruang sakral dan situs adat, singkatnya masa depan kami. Ini bukan soal energi bersih, ini soal penjajahan gaya baru atas nama lingkungan,” sengitnya.

Setelah merangkum semua keluhan warga berdampak di Flores hingga Lembata, Alter KGF bersama warga meminta dan menuntut beberapa hal kepada pemerintah. Pertama, hentikan segera seluruh kegiatan eksplorasi dan proyek geothermal di Pulau Flores dan Lembata.

Kedua, batalkan seluruh izin dan rencana pengembangan panas bumi yang sudah dikeluarkan di seluruh Flores dan Lembata. Ketiga, tolak semua bentuk keterlibatan palsu yang menjadikan lembaga atau pihak luar sebagai pengganti suara rakyat.

Keempat, hormati hak warga atas tanah, air, dan kehidupan yang diwariskan leluhur. “Kami tidak akan diam. Tanah ini bukan warisan negara, bukan milik perusahaan. Ini tanah kehidupan kami. Dan kami akan menjaganya sampai akhir,” ujarnya.

Rilis