DENPASAR-Jurnalbali.com
Bali tercatat sebagai penyumbang terbesar kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia, mencapai hampir 45 persen dari total kedatangan wisman. Angka ini jauh melampaui Jakarta yang menyumbang 30 persen dan Kepulauan Riau sebesar 5–8 persen. Fakta tersebut menempatkan Bali sebagai tulang punggung sektor pariwisata nasional dan menjadi sorotan utama dalam forum-forum kebijakan.
——
Hal tersebut disampaikan oleh Deputi Bidang Produk Pariwisata dan Penyelenggara Kegiatan Kementerian Pariwisata RI Vinsensius Jemadu, Saat menghadiri diskusi nasional yang diselenggarakan serikat media siber indonesia (SMSI) Badung, di puspem Badung, Selasa, 20/5/2025.
“Kontribusi Bali luar biasa. Maka dari itu, kebijakan dan regulasi terkait pariwisata di Bali harus benar-benar diperhatikan, terutama dalam hal penegakan hukum,” ujar seorang pejabat Kementerian Pariwisata dalam sebuah diskusi publik belum lama ini.
Vinsen menekankan pentingnya pengawasan terhadap perilaku wisatawan asing maupun warga negara asing yang tinggal di Bali. Perilaku yang bertentangan dengan budaya lokal dinilai dapat merusak citra Bali sebagai destinasi wisata berbasis budaya.
“Budaya Bali itu sakral. Pariwisata Bali bertumpu pada budaya. Maka kita harus jaga agar tidak rusak. Turis yang datang harus berkualitas, punya edukasi, dan menghormati nilai-nilai lokal,” tegasnya.
Di sisi lain, Ia juga menyinggung terkait adanya penurunan okupansi hotel-hotel resmi, meskipun jumlah wisatawan meningkat. Hal ini terjadi karena banyak wisatawan memilih menginap di vila, rumah kos, atau akomodasi tidak resmi.
“Ini menjadi tantangan dalam pengawasan dan pendataan. Pemerintah daerah harus lebih ketat dalam perizinan dan klasifikasi usaha,” ujarnya. Ia mendorong agar klasifikasi risiko izin usaha (KBLI) ditinjau ulang agar akomodasi informal bisa diatur dengan lebih baik.
Pengawasan terhadap aktivitas orang asing juga disoroti, karena keterbatasan sumber daya di instansi seperti Direktorat Jenderal Imigrasi. Oleh sebab itu, peran aktif masyarakat dalam memberikan informasi dianggap sangat penting.
“Bukan berarti imigrasi lemah, tapi mereka punya keterbatasan SDM dan anggaran. Maka masyarakat bisa ikut terlibat,” imbuhnya.
Selain itu, juga menyampaikan keprihatinan terhadap lemahnya sinergi lintas sektor dalam pengembangan pariwisata nasional. Ia menyebut dua hal yang menjadi penopang utama pembangunan pariwisata: anggaran dan kebijakan. Namun, keduanya dinilai belum memadai.
“Kalau anggaran tidak berkualitas, kita masih bisa andalkan kebijakan. Tapi kalau dua-duanya lemah, wassalam. Tak ada lagi yang bisa diharapkan,” tegasnya.
Menurutnya, sektor pariwisata membutuhkan koordinasi lintas sektor yang intensif.
Namun, kementeriannya kerap menjadi sasaran kritik atas isu-isu yang berada di luar kewenangannya, seperti harga tiket pesawat dan infrastruktur. “Masalah tiket pesawat mahal itu ranah Kementerian Perhubungan. Tapi serangannya ke kami,” katanya.
Ia juga menyoroti rendahnya komitmen sejumlah kepala daerah terhadap pembangunan sektor pariwisata. Beberapa kepala daerah bahkan menempatkan pejabat yang tidak sesuai kompetensi di dinas pariwisata.
“Pernah ada pejabat dari dinas pemakaman dipindah ke pariwisata. Ini mencerminkan minimnya keberpihakan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menyayangkan banyak kepala daerah baru serius bekerja setelah menjabat 2,5 atau 3 tahun, kemudian sibuk mempersiapkan pencalonan periode berikutnya. Padahal, menurutnya, pariwisata harus dibangun dengan visi jangka panjang dan semangat kolaboratif.
“Kita bicara pariwisata berkualitas, bukan hanya destinasi dan belanja wisatawan, tapi soal komitmen kepala daerah sebagai CEO daerah,” ujarnya.
Ketika ditanya terkait mahalnya tarif sewa kuda di ratenggaro sumbah barat daya NTT, ia menyatakan akan melakukan koordinasi untuk mencari solusi yang adil bagi semua pihak.
“Fenomena seperti ini perlu ditangani secara hati-hati agar tidak menurunkan kenyamanan wisatawan dan tetap memberdayakan masyarakat lokal,” tutupnya.
Penulis||Orin||Editor||Edo