Ngotot Banding ke Pengadilan Tinggi, Baba Siheng Gugat Tanah Keuskupan Denpasar Tanpa Bukti Batas Tanah

03/06/2022 05:23
Array
Kuasa hukum Keuskupan Denpasar Dr. Munnie Yasmin SH, MH., M.Kn. (FOTO/Bil)
banner-single

DENPASAR,Jurnalbali.com –

Gugatan terhadap tanah milik Keuskupan Denpasar di atas SHM Nomor 534 dengan luas 6.578 M2 yang terletak di Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT berujung pada tidak diterimanya gugatan penggugat yang dimotori Hendrikus Chandra atau yang biasa diakrabi Baba Siheng.

——————-

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Labuan Bajo yang diketuai oleh Putu Gde Nuraharja Adi Partha memutuskan jika gugatan tersebut tidak diterima. “Menyatakan gugatan para penggugat konvensi/para tergugat rekonvensi tidak dapat diterima atau NO (Niet Ontvankelijke Verklaard),” sebut majelis hakim.

Kuasa hukum Keuskupan Denpasar Dr. Munnie Yasmin SH, MH., M.Kn dalam keterangan pers, Rabu (1/6/2022) menjelaskan, terhadap putusan NO tersebut, Baba Siheng Malah mengajukan banding.

“Setelah diputuskan NO, mereka telah mengajukan banding di Pengadilan Tinggi (PT) Kupang. Adapun dalil mereka menyatakan bahwa mereka sudah menentukan dengan jelas batas-batasnya, seperti yang sudah dinyatakan dalam pengadilan tingkat pertama. Padahal batas-batas tanah yang digugat tidak bisa dibuktikan sehingga majelis hakim di tingkat pertama memutuskan jika gugatan tersebut tidak bisa diterima atau NO,” ujarnya.

Ketika para penggugat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi maka pihaknya bersama tim juga telah mengajukan Kontra memori banding ke Pengadilan Tinggi di Kupang. Hingga saat ini belum ada keputusan dari Pengadilan Tinggi Kupang.

“Sekalipun belum ada keputusan dari Pengadilan Tinggi Kupang, kami selaku tim kuasa hukum telah bersurat secara resmi kepada Kapuspenkum Kejaksaan Agung agar kasus ini menjadi atensi. Selain itu, kami juga sudah mengajukan surat keberatan ke Kantor BPN Labuan Bajo, Manggarai Barat terkait dengan sertifikat 534 tersebut. Kami menerima hasil bahwa mereka tidak dapat membatalkan SHM milik Penggugat (yaitu SHM 2004 dan SHM 2005) karena masih menunggu keputusan yang bersifat tetap dan mengikat,” ujarnya.

Baca Juga :   Selain Berjuang Memelihara, Gadis di Manggarai, Terpaksa Pasung Dua Orang Tuanya Karena Sakit Jiwa

Bila merujuk pada hasil putusan Pengadilan Negeri Manggarai Barat maka jelas jika tanah dengan sertifikat hak milik Nomor 534 tersebut adalah sah milik Keuskupan Denpasar.

“Di situlah kita bisa menetapkan bahwa benar tanah ini milik Keuskupan Denpasar,  Selain itu ada beberapa pertimbangan hukum juga yang kita masukkan di dalam kontra memori banding,” ujarnya.

Ia menegaskan, pengggugat tidak bisa menunjukkan batas-batas tanah miliknya sehingga majelis hakim memutuskan NO. Pihaknya juga menambahkan, dalam kontra memori banding, kami hanya mempertegas keputusan hakim di PN Manggarai Barat.

Selain itu, ia juga menolak semua bukti dan dalil yang disampaikan dalam memori banding dengan mengajukan lebih dari 29 bukti dokumen yang sah dan asli.

“Salah satu eksepsi kami pada saat di tingkat pertama itu adalah bahwa penggugat tidak jelas terkait batas-batas obyek sengketa. Jadi di dalam jawaban kami yang di tingkat pertama kami sudah mengajukan eksepsi itu. Hakim mungkin merujuk ke situ juga. Memang pada saat di lapangan, mungkin pertimbangan hakim melihat bagaimana penggugat tidak bisa menjelaskan mengenai batas-batas lokasi. Jadi kami intinya dalam kontra memori banding menyetujui pendapat dari majelis hakim tingkat pertama,” ujarnya. 

Pakar hukum Tata Negara dari Universitas Udayana Bali Dr. Jimy Usfunan SH menyayangkan putusan hakim di PN Manggarai Barat yang NO itu. Ia meminta hakim harus melihat dari kompetensi absolut dari penggugat dan materi gugatan.

Ia mengilustrasikan, antara A dan B melakukan jual beli tanah. Maka hubungan keduanya adalah hubungan keperdataan. Bila negara melalui PPAT melakukan pencatatan dan mengesahkannya maka keduanya sudah masuk dalam hubungan administrasi negara.

Dalam konteks gugatan penggugat atas tanah Keuskupan Denpasar di Labuan Bajo, kedua hal ini digabungkan atau tidak dipisahkan antara perdata dan tata usaha negara atau administrasi negara.

Baca Juga :   Pelaku Penyebar Video Porno Dengan Modus Pemerasan di Manggarai Ditangkap

“Ini sangat keliru dan sangat disayangkan. Hakim hanya menggunakan yurisprudensi tahun 1971 nomor 81. Hakim hanya bermain di bukti awal sehingga dengan kaburnya batas-batas tanah yang sedang diperkarakan langsung diputus NO. Padahal batas tanah itu hanya soal penulisan timur berbatasan dengan siapa, barat berbatasan dengan apa, Utara berbatasan dengan apa dan selatan berbatasan dengan siapa. Masih ada hal lain lebih substansial tetapi tidak dilakukan hakim,” ujarnya.

Ia menjelaskan, baik pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tinggi sama sama memeriksa fakta lapangan. Sehingga perlu memperhatikan kompetensi absolut dan pemisahan antara kasus perdata dan administrasi negara.

Kasus sertifikat SHM 534 yang sudah 27 tahun lalu diterbitkan, dan penggugat baru menerbitkan sertifikat di atas obyek yang sama jauh kemudian (11 tahun yang lalu) dan setahun kemudian memecahkannya menjadi dua sertifikat sesungguhnya juga menjadi perhatian hakim dalam mengambil keputusan.

“Secara doktrin kami sangat menyesalkan putusan NO. Sebab di sini pengadilan tidak bisa menjadi benteng terakhir dalam menegakkan keadilan, sebab baik PN maupun PT sama sama memeriksa fakta di lapangan,” ujarnya. (*/Bil/Ade)

Rekomendasi Anda

banner-single-post2
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Terkini Lainnya