DENPASAR,Jurnalbali.com –
Rupanya habis sudah kesabaran Made Sukalama selaku Direktur Utama PT Tebing Mas Estate. Apa yang dialami dalam proses penyelidikan, penyidikan hingga ditetapkan tersangka Reklamasi Pantai Melasti, terus dibeberkan. Hingga ia mendengar ada sebutan angka Rp 80 miliar saat berada di ruangan penyidik, juga ajakan bertemu empat mata. Ini membuat Kuasa Hukum I Nyoman Budi Adnyana, S.H., M.H., CLA., CPL angkat bicara, di Denpasar Minggu (18/6).
———
Kepada Media ini, Budi Adnyana yang juga Wakil Sekjen Peradi Pusat dan juga Ketua DPC Peradi Denpasar menyatakan, Made Sukalama selaku Direktur Utama PT Tebing Mas Estate ternyata diperlakukan tak wajar. Salah satunya diduga dilakukan oleh AKBP I Made Witaya selaku Kasubdit II Ditreskrimum Polda Bali.
Kejanggalan ini ketika Made Sukalama dipanggil dan memberikan keterangan. Ini sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Budi Adnyana juga mendengar cerita dari klien yang ia dampingi, Made Sukalama, ada menyebut-nyebut angka 80 miliar. Budi Adnyana sendiri tidak menjelaskan secara rinci tentang cerita klilennya tersebut.
Namun Budi Adnyana mengatakan, AKBP I Made Witaya meminta waktu untuk ketemu secara empat mata, tanpa melibatkan tim penasihat hukum yang ada saat itu, di rungan penyidi Unit 4 Subdit II Ditreskrimum Polda Bali. “Ini sangat aneh. Terkesan mendiskriminasi tim penasihat hukum. Seorang perwira Pangkat AKBP Witaya tidak mengizinkan tim penasihat hukum untuk ikut,” timpal Budi.
Perwira tersebut tidak mengikut serta tim kuasa hukum dalam pertemuannya dengan Sukalama. Usai berbicara empat mata, Made Sukalama menyampaikan kepada tim penasihat hukum. Bahwa AKBP Witaya membicarakan dan menyampaikan kepada Made Sukalama tentang tanah milik PT TME.
“Dia (Witaya) ngomong mengenai Rp 80 miliar. Dia juga mempertanyakan apakah mau dijual lahan seharga 80 miliar,” ungkap sang Kuasa hukum.
Sementara di sisi lain, ketika ada pemeriksaan terhadap salah seorang pemegang saham, seorang penyidik menyampaikan kepada tim kuasa hukum (Budi Adnyana) bahwa AKBP Witaya ingin bertemu empat mata dengan salah seorang pemegang saham. Usai diemeriksaan sebagai saksi saat itu, pemegang saham menolak untuk bertemu empat mata dengan AKBP Made Witaya.
Pemegang saham meminta kepada sang pengacara (Budi Adnyana) agar mewakilinya dalam pertemuan dengan AKBP Witaya. Anehnya, AKBP Witaya justru menolak untuk bertemu. Bahkan jepada Witaya, dalam pesan lisan melalui penyidik, Budi Adnyana menyampaikan agar pemegang saham meu bertemu bertemu dengan AKBP Witaya apabila didampingi oleh Budia Adnyana. Lagi-lagi permintaan tersebut ditolak oleh AKBP Witaya.
“Hal ini tentu sangat aneh. Kami pengacara. Juga merupakan aparat penegak hukum sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat,” timplanya sembari mengatakan, selaku Wakil Sekjen DPN Peradi Pusat dan juga Ketua DPC Peradi Denpasar, sangat paham dan mengerti akan hak mendampingi setiap klien dalam keseluruhan proses hukum baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai bersidang di pengadilan.
“Apa yang dialami oleh klien kami, ini tentu akan menimbulkan banyak pertanyaan. Apa maksud dari AKBP Witaya dengan berperilaku seperti itu,” tambahnya dengan nada tanya. Sebagaimana surat dari Made Sukalama, yang ditujukan pada instansi penegak hukum baik daerah maupun pusat. Meminta perlindungan hukum kepada Menko Polhukam Mahfud MD, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Komisi III DPR RI.
Pun Kadiv Propam Mabes Polri hingga Kapolda Bali, tekait dugaan diskriminasi yang terjadi dalam proses penanganan Perkara Laporan Polisi Nomor: LP/B/338/VI/2022/SPKT/POLDA BALI. “Tindakan Kasubdit II ink menimbulkan dugaan adanya tindakan diskriminatif, bukan saja terhadap klien kami, termasuk juga pada kami pengacara yang dilindungi dalam UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat,” ucapnya.
Pun ini harus dijawab oleh AKBP Witaya. Apa maksud dari AKBP Witaya yang hanya ingin bertemu empat mata dengan Made Sukalama, dan pemegang saham yang nota bene sebagai klien, tanpa didampingi tim penasihat hukum? Dalam proses penyelidikan, penyidikan sampai dengan penetapan tersangka, pihaknya telah melampirkan berbagai bukti-bukti yang telah mendapatkan tanda terima sah dari penyidik untuk disita.
Bukti-bukti tersebut berisi tentang fakta-fakta. Bahwa tindakan pengurugan itu diduga dilakukan oleh Gusti Made Kadiana, bukan oleh Made Sukalama. Karena pengerukan terjadi pada tahun 2018, dimana saat itu Gusti Made Kadiana berstatus sebagai Direktur Utama PT TME yang menjabat dari tahun 2013 sampai dengan 2020.
Ditegaskan, dalam pengalamannya sebagai lawyer, sangatlah butuh keberanian bagi masyarakat biasa seperti Made Sukalama untuk membuat surat, dan melakukan perlawanan serta mohon perlindungan hukum sampai ke Menkopolhukam, Kapolri, Komisi III DPR RI, Kadiv Propam Mabes Polri, Kapolda Bali dan Kabid Propam Polda Bali.
“Klien saya merasa diperlakukan secara tidak adil. Hal ini menurut saya menjadi hal yang harus kita renungkan bersama kenapa Made Sukalama membuat surat seperti itu,” tutup Ketua DPC PERADI Denpasar Budi Adnyana yang beranggotakan seribu lebih pengacara.
Terkait ini, kerika dikonfirmasi via telepon, AKBP I Made Witaya selaku Kasubdit II Ditreskrimum Polda Bali enggan berbicara banyak.
AKBP Witaya memgaku sedang bertugas di Jakarta tidak bisa berkomentar. “Ya, Senin atau Selasa, saya akan laporkan ke Pak Dir, pun Kabid Humas juga ada, biar satu pintu,” singkatnya.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Bali Kombespol Stefanus Satake Bayu Setianto membantah adanya intimidasi. Dulu mereka sendiri yang mau jual,” ujar Satake Bayu.
Penuis||Dre||Editor||Edo