Krisis Beras di Manggarai, Cermin Kegagalan Bupati Edi Endi Dalam Strategi Ketahanan Pangan

06/02/2022 03:03
Array
Pengamat Kebijakan publik, Stefanus Gandi. (FOTO/dok)
banner-single

LABUAN BAJO, Jurnalbali.com

Terungkapnya ‘tragedi’ krisis beras di Manggarai Barat (Mabar) akibat perbaikan irigasi persawahan Lembor, yang membuat masyarakat Mabar dan dua Kabupaten Manggarai lainnya harus makan beras dari Makasar – Sulawesi, mengundang banyak komentar miring terhadap kebijakan bupati Mabar, Editasius Endi.

————————-

Bupati yang tak lain adalah putra Lembor ini, dinilai tidak punya kebijakan strategis dan manajemen perencanaan pangan Mabar yang terukur. Akibatnya, lahan-lahan pertanian masyarakat Mabar sontak menjadi tidak produktif, diikuti para petani Mabar banyak yang menganggur.

Lebih celaka lagi, Mabar yang dikenal sebagai ‘lumbung beras’ NTT, dengan kekuatan persawahan Lembor, harus menjadi kabupaten yang terjajah secara ekonomi khususnya sektor pangan. Padahal masyarakat Mabar dan Manggarai umumnya adalah masyarakat agraris dengan kekuatan utama pada pertanian tanaman pangan.

Lantaran kepemimpinan Bupati Editasius Endi yang dinilai tidak berpihak pada pertanian, yang artinya juga tidak berpihak pada petani, maka julukan Mabar lumbung beras runtuh seketika.

‘Bupati kita ini bukan type pelayan masyarakat. Tapi type pekerja politik. Sebagai pekerja politik, dia tidak ingin menghabiskan waktu untuk terus berjuang bagi rakyatnya. Dia juga ingin menikmati kekuasaan. Tidak punya design ketahanan pangan yang strategis. Kelihatannya dia punya perinsip, yang penting jadi bupati, lalu selesai,’ ujar pengamat kebijakan publik Stefanus Gandi, yang diwawancarai via telephon seluler Minggu 6 Februari 2022, terkait masuknya beras Makasar ke Mabar.

Sebagaimana diberitakan bali.poskota.co.id dan jurnalbali.com pada Jumat 4 Februari, pengusaha Henry Chandra yang juga pemilik toko Maha Putra Labuan Bajo, selama ini rutin mendatangkan beras dari Makasar untuk dijual di Labuan Bajo, Manggarai Barat. Terungkap, jumlah beras yang didatangkan tidak tanggung-tanggung. Berkisar antara 70-75 ton setiap bulan.

Baca Juga :   Ribuan Ibu-ibu berkebaya Merah Bernyanyi, Dukungan Untuk Giri Prasta Menguat

Direktur Stefanus Gandi Institute (SG Institute) ini menilai bahwa apa yang dilakukan oleh pemilik toko Maha Putra, sesungguhnya mau menunjukan bahwa masa pemerintahan Editasius Endi dan Wakilnya, Yulianus Weng, tidak memiliki konsep ketahanan pangan berskala daerah yang terintergrasi. Sehingga masalah krisis beras di Manggarai Barat bisa menjadi peluang bagi kaum pemodal untuk berbsnis tanpa adanya aturan yang mengikat.

Dikatakan, bahwa leluasanya kaum pemodal melakukan bisnis beras lintas pulau dan lintas provinsi tanpa adanya pungutan pajak dan retribusi bisa menimbulkan sejumlah presepsi publik bahwa kebijakan pangan di Mabar lebih berpihak pada pengusaha dari pada memberdayakan pangan local yang bersumber dari produktifitas petani Manggarai.

‘Ini bisa kita ibaratkan Bupati telah merelakan wilayahnya dan rakyatnya menjadi masyarakat terjajah secara ekonomi khususnya dalam hal ketersediaan beras,’ ujar Stefanus Gandi.

Ia juga menyayangkan fakta sangat ironis dimana masyarakat Manggarai harus makan beras luar sementara masyarakat manggarai adalah masyarakat agraris dengan lahan pertanian melimpah.

Selain itu, Stefanus Gandi juga menyoroti hal ini sebagai indikasi lemahnya pengawasan Pemda dalam membuat regulasi yang mengatur soal biaya masuk, yang membuat pengusaha seperti Henry Chandra bisa leluasa menjalankan bisnis.

“Saya kira begini , maraknya beras dari provinsi lain yang beredar di wilayah Manggarai Barat membuat publik bertanya tanya apakah bupati Edi sudah mendesign konsep ketahanan pangan skala daerah yang terintegrasi sehingga krisis beras ini tidak menjadi momok bagi pesatnya pertumbuhan pariwisata di manggarai barat,” ujarnya.

Ketidakpekaan dan lemahnya pemerintah Mabar mengontrol beras yang masuk dari luar daerah membuat para pengusaha memanfaatkan peluang ini dengan bebasnya mendatangkan beras dari propinsi lain untuk diedarkan di wilayah Mabar tanpa pengawasan harga eceran yang terukur.

Baca Juga :   Kadiskes Bali Minta Tak Usah Ribut-ribut Soal Ibu RT ‘Dicovidkan’

“Kalau kemudian harga yang beredar cendrung mahal, itu adalah kegagalan nyata dari  regulator (pemda Mabar) yang tidak mampu mengatur masuknya beras dari luar ke Mabar,” ujarnya.

Menurut Evan Gandi, kalaupun memang untuk mengatasi krisis beras di Mabar mengharuskan suplai beras dari Provinsi lain maka yang perlu diperhatikan yakni soal pengawasan.

“Saya berharap, jikapun memang kita harus mendatangkan pasokan beras dari propinsi lain untuk memenuhi kebutuhan beras di Manggarai Barat, maka Bupati  dan jajarannya mulai memperhatikan hal ini secara serius dengan merapikan sistem pengawasan terhadap alur beras luar daerah yang masuk ke wilayah Mabar dan Manggarai umumnya ini serta menetapkan satuan harga eceran tertinggi sehingga tidak terjadi monopoli harga pasar,” ujarnya. (*/Rio)

Rekomendasi Anda

banner-single-post2
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Terkini Lainnya